Aku terisak ketika keping-keping rindu
berjatuhan dari langit hati. Tak
sanggup kubendung bulir bening ini,
ia meluncur semaunya. Perih kembali
mengelupas dinding hatiku tatkala
wajahmu yang di rayapi pucat pasi
melintasi lensaku. Kau telah tiada. Oh,
inikah episode yang kau janjikan
padaku? Inikah? Bukan! Bukan! Ini
episode luka.
"Fadilah, pernikahan kita akan
kusimpan sebagai episode yang
terindah. Abadi di dadaku. Kita akan
menjadi pengantin semesta yang cinta
kasihnya tiada pernah padam,"
ucapanmu yang lirih kembali
memenuhi rongga telingaku. Kata itu
kau ucapkan saat senja di tepi sungai.
Kutimpali, "tersimpan pula di dada ini,
Arfan."
Dan gerimis di hati kini berubah badai.
Aku terkulai. Aku merana. Tangisku
pecah. Berhamburan dalam kamar.
=> tidak termasuk judul 111 kata.
Ikutserta dalam lomba FF Pengantin
Semesta, perpustakaan abatasa.
Kucoba berpartisipasi walau dengan
karya sederhana.
Denyut Kata
Senin, 18 Oktober 2010
Bait Bait Luka
Di dermaga yang beku
suatu pagi :
Tinta ini tak lama lagi padam
Seumpama kisah kita
Yang tak lagi di bisikkan dedaunan
Bebutiran embun pun cepatlah surut
Enggan mendengar, walau lirih
Tinta ini tak lama lagi padam
Tapi, luka-luka itu masih membatu
Bait membait di helai waktu
Perih runtuh dan terus runtuh.
"Bakar ia dari dadamu, Bodoh !!"
Ya, itu lisanmu.
Kau pun seperti tinta ini
Tak lama lagi padam.
Ah !
suatu pagi :
Tinta ini tak lama lagi padam
Seumpama kisah kita
Yang tak lagi di bisikkan dedaunan
Bebutiran embun pun cepatlah surut
Enggan mendengar, walau lirih
Tinta ini tak lama lagi padam
Tapi, luka-luka itu masih membatu
Bait membait di helai waktu
Perih runtuh dan terus runtuh.
"Bakar ia dari dadamu, Bodoh !!"
Ya, itu lisanmu.
Kau pun seperti tinta ini
Tak lama lagi padam.
Ah !
Langganan:
Postingan (Atom)